Ilustrasi perempuan muslim bekerja/Net
Ilustrasi perempuan muslim bekerja/Net
KOMENTAR

BARU saja diterima bekerja di sebuah perusahaan impiannya, perempuan itu langsung cemas. Ternyata, di kantor itu dirinya telah ikhtilath atau bercampur-baur dengan lawan jenis. Tidak ada pemisahan tempat kerja, antar karyawan dituntut saling berhubungan satu dengan lainnya.

Yang tidak kalah menggentarkan hati perempuan itu adalah pekerjaan membuatnya berkhalwat, berduaan dengan lelaki yang bukan mahramnya.

Sebagai contoh, Siang itu kepala bagian memanggilnya ke ruangan. Pintu ruangan terbuka dan berkaca transparan, membuat banyak mata melihat. Tetapi, tetap perempuan itu merasa berdosa telah berduaan.

Gadis tersebut paham sekali, baik khalwat dan ikhtilath sama-sama diharamkan oleh agama, dan dirinya sangat memelihara tegaknya aturan Islam dalam nafas hidupnya.

Apakah dia harus keluar dari pekerjaan yang diidam-idamkannya?

Tunggu dulu. Alangkah bijak jika terlebih dulu memahami penjelasannya.

Ahmad Sarwat pada Ensiklopedi Fikih Indonesia: Pernikahan (2019: 148) menerangkan: “Namun, semua pihak sepakat bahwa tidak boleh terjadi ikhtilath (campur baur) antara laki-laki dan wanita. Semua sepakat untuk mengharamkan khalwat atau berduaan (menyepi) antara laki-laki dan wanita. Sebagaimana mereka juga sepakat bahwa para wanita diwajibkan untuk menutup aurat dan berpakaian sesuai dengan ketentuan syariat.”

Khalwat adalah berdua-duaan laki-laki dan perempuan nonmuhrim di tempat sepi yang jauh dari jangkauan manusia lainnya. Adapun ikhtilath adalah campur baur laki-laki dan perempuan bukan mahram dalam pergaulan. 

Baik aturan khalwat atau ikhtilath sama-sama perlu dicermati secara bijaksana, sebab Islam pun tidak mungkin melarang pergaulan sosial kaum muslimin dan muslimah.

Seperti halnya di tempat kerja, ikhtilath menjadi sulit terhindarkan, karena memang kebutuhan kerja menjadikan semua karyawan harus saling berinteraksi. Begitu pula khalwat, ada masanya lelaki dan perempuan terpaksa berduaan membahas sesuatu yang penting.

Rizem Aizid dalam buku Fiqh Keluarga Terlengkap (2018: 325) menyebutkan: “Akan tetapi, lain halnya bila khalwat itu dilakukan di depan orang lain. Ini bukan termasuk khalwat. Toh, meskipun dimasukkan kategori khalwat, tapi khalwat jenis ini terbilang boleh. Khalwat semacam ini biasanya adalah berduaannya seorang wanita dan laki-laki untuk tuntutan profesionalitas, seperti menyelesaikan pekerjaan, mengerjakan tugas sekolah, dan semacamnya.”

Tentang khalwat yang dibolehkan, Al-Mausuah al-Fuqhiyah menggambarkan, “Termasuk khalwat yang boleh adalah berduaannya seorang pria dan seorang wanita di depan banyak orang, sekiranya keberadaan keduanya tidak tertutup dari mata orang banyak, walaupun mereka tidak mendengar percakapan keduanya.”

Ada sebuah hadis dalam Shahih Bukhari yang menyatakan, “Seorang perempuan Anshar datang pada Nabi, lalu Nabi berduaan dengannya.”

Ibnu Hajar memasukkan hadis ini dalam bab Bolehnya Lelaki dan Perempuan Khalwat di Dekat Orang banyak.

Walau banyak yang berpendapat demikian, tetap saja berduaan itu dalam jarak yang aman, saling menjaga jangan sampai terjadi persentuhan. Dan berduaan di depan umum itu pun ada adabnya, hanya sekadar menyelesaikan urusan penting, bukannya asyik bercengkrama antar nonmahram untuk perkara yang tidak berfaedah.

Jhon Afrizal dalam buku Dilema Islam dan Politik di Indonesia (2020: 124) mengungkapkan: “Namun, keharaman ikhtilath tersebut dikecualikan dengan dua kriteria; Pertama, jika ada dalil syariah tertentu yang membolehkan adanya interaksi pria dan perempuan, misalnya berjual-beli. Kedua, jika interaksi tersebut memang mengharuskan pertemuan (ijtima’). Jika dua kriteria ini terpenuhi, maka ikhtilath pria dan perempuan diperbolehkan.”

Di Indonesia, Aceh merupakan daerah yang menerapkan larangan ikhtilath dalam hukum jinayat, plus sanksi yang menimpa pelanggarnya. Namun, juga dikecualikan ikhtilath tertentu yang masih diperbolehkan.

Ali Abubakar & Zulkarnain Lubis dalam buku Hukum Jinayat Aceh (2019: 85-86) mengungkapkan: “Laki-laki dan perempuan dibolehkan melakuan ikhtilath, dengan syarat, yaitu: 

a. Pertemuan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan itu untuk melakukan perbuatan yang dibolehkan syarak, seperti aktivitas jual beli, belajar mengajar, merawat orang sakit, pengajian di masjid, melakukan ibadah haji, dan sebagainya. 

b. Aktivitas yang dilakukan itu mengharuskan pertemuan antara laki-laki dan perempuan, hukumnya tetap tidak boleh. 

c. Para laki-laki dan perempuan wajib mematuhi hukum-hukum syarak lainnya dalam kehidupan umum; misalnya, kewajiban menundukkan pandangan (ghadd al-bashar) yaitu tidak memandang aurat, kewajiban berbusana Muslimah yaitu kerudung dan jilbab atau baju kurung terusan, keharaman ber-khalwat (berdua-duaan dengan lain jenis) dan sebagainya.

Kesimpulannya, ikhtilath yang terlarang itu jika bercampur baur lelaki dan perempuan bukan mahram, tapi menjurus kemaksiatan, persentuhan atau kegiatan terlarang lainnya. 

Namun, untuk ikhtilath yang berhubungan dengan hal-hal positif, demikian itu diperbolehkan. Sedangkan khalwat yang diperbolehkan itu adalah di depan umum atau disaksikan oleh orang-orang lain, dan hanya untuk menyelesaikan urusan yang penting atau berfaedah saja.




Inilah Puasa yang Pahalanya Setara Berpuasa Setahun

Sebelumnya

Saat Itikaf Dilarang Bercampur Suami Istri, Maksudnya Apa?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Fikih